Oleh: Geza Bayu Santoso *)

GUSDur telah mewariskan, waktunya kita meneruskan. Banyak hal yang Gus Dur wariskan kepada kita, baik itu esai pemikiran maupun regulasi politik saat menjadi presiden.

Namun, dari sekian banyak warisan Gus Dur ada satu padanan kata yang tak mungkin lepas dari dirinya, kata itu adalah kemanusiaan.

Sebengis apapun problematika politik, budaya, dan sosial.

Sosok humanis emansipatoris ini musti berpihak kepada kemanusiaan, terdengar klise dan membosankan bagi sebagian orang, termasuk penulis. Tapi itulah Gus Dur, seorang humanis tulen.

Pemilu 2024 adalah pasar malam. Riuh meriah penuh warna dan dinamika. Kita menonton tong setan, bianglala, dan komidi putar.

Suara motor brong yang berpacu di dalam tong adalah gambaran para relawan, bising betul menjilat pemimpin yang ia idolakan.

Komidi putar adalah gambaran pemimpin, berputar menunggangi kuda untuk menunjukkan siapa dirinya, meskipun arah putaran sudah diatur sedemikian rinci.

Bianglala adalah gambaran penguasa, pemilik modal yang membiayai partai, ia punya mata elang untuk melihat keseluruhan pasar malam.

Praktik politik Indonesia masih saja membuang moral dalam tong sampah, semua hal jadi halal untuk melanggengkan kekuasaan.

Pernahkah anda berpikir pemimpin bernama Jokowi mengakhiri 10 tahun kepemimpinannya dengan cara yang bengis, memberikan karpet merah kepada anaknya untuk jadi penerus tahta.

Memang tidak salah, sah-sah saja, boleh-boleh saja, tapi cara dia membuka karpet merah adalah praktik yang sulit dimaafkan.

Jokowi telah membunuh mimpi generasi perintis, ia menjadi asisten sutradara yang berhasil mempertontonkan kegagalan reformasi Indonesia.